Menjelang Ramadhan, sejumlah
masyarakat di berbagai daerah memiliki berbagai macam tradisi untuk menyambut
datangnya bulan suci dan bulan penuh berkah ini. Ada berbagai macam tradisi
yang dikenal di masyarakat seperti tradisi Nyadran, sedekah kubur, Padusan, dan
di Jawa Timur sendiri terkenal dengan nama Megengan.
Megengan berasal dari bahasa Jawa
yang artinya menahan. Megengan merupakan penanda masuknya bulan suci Ramadhan, yaitu bulan di mana setiap
muslim diwajibkan melakukan ibadah puasa dan menahan nafsu 30 hari penuh.
Ada berbagai macam hal yang
dilakukan dalam menyambut bulan suci ramadhan. Dulu sewaktu kecil, sebelum
bulan puasa, almarhum mbah saya di Madiun akan sibuk menyiapkan “ambengan”. Ambengan merupakan
nasi putih dan nasi kuning yang dilengkapi dengan lauk lengkap. Kemudian di
bawa ke masjid untuk di doakan kemudian dimakan bersama dengan warga sekitar Kalau di kota dikenal dengan Tumpengan akan tetapi ambengan ini nasinya tidak dibentuk tumpeng.
Selain itu, juga membuat apem
yang kemudian dibagikan ke tetangga dan kerabat dilengkapi dengan pisang. Apem
merupakan simbol permintaan maaf dalam masyarakat jawa yang berasal dari bahasa
Arab “Afwan” atau mohon maaf. pembagian apem kepada tetangga ini merupakan
simbol permohonan maaf menjelang bulan puasa, agar ibadah puasa lancar.
Meski sekarang di lingkungan saya
tinggal di Surabaya sudah banyak yang meninggalkan tradisi pembagian apem ini,
bagi keluarga saya tradisi membagikan Apem ke tetangga adalah hal yang harus
dilakukan. Almarhumah mbah putri pernah berpesan “Masiyo jaman wes modern, Apem
lan Gedhang e ojo nganti keri” (walaumun jaman sudah modern, apen dan pisang
jangan sampai ditinggalkan)
Selain sebagai simbol permohonan maaf, pemberian apem kepada tetangga mengajarkan kepada kita akan konsep berbagi/bersedekah. Bagi keluarga yang mampu kini membagi apem juga ditambah dengan memberikan nasi berkat.
Selain sebagai simbol permohonan maaf, pemberian apem kepada tetangga mengajarkan kepada kita akan konsep berbagi/bersedekah. Bagi keluarga yang mampu kini membagi apem juga ditambah dengan memberikan nasi berkat.
Sandingan Mapak Poso
Selain membagikan apem dan pisang
ke tetangga, ada satu lagi hal yang biasa dilakukan dalam menyambut bulan suci
ramadhan. Menyiapkan sandingan. Sandingan
(sajian) mapak poso merupakan tradisi menghormati dan mendoakan leluhur
yang telah berpulang lebih dahulu.
Isi Sandingan yang biasa
disiapkan adalah apem, pisang, kopi manis kesukaan almarhum, rokok. Sebagian masyarakat
di Jawa Timur meyakini bahwa saat sebelum ramadhan, arwah para leluhur yang
telah meninggal akan pulang kembali ke rumah. Sebagai orang yang masih hidup,
keluarga wajib mendoakan dan memberikan sajian tersebut. Entah benar atau tidak
tradisi semacam ini masih terus dilakukan.
Sebagian orang masih mempercayai
bahwa, orang yang telah meninggal saat menjelang ramadhan akan pulang, dan
menghirup aroma dari sandingan yang
telah disiapkan oleh keluarganya.
Memandang Tradisi Megengan Sebagai Kearifan Lokal
Di tengah era hijrahisme yang
semakin menjamur ini, tentunya akan banyak sekali anggapan negatif akan
tradisi-tradisi semacam megengan dan
sandingan. Tentunya akan ada yang bilang Musyirik, bid’ah dan lain
sebagainya. Menentang untuk meninggalkan tradisi-tradisi yang tidak ada di
Al-qur’an.
Namun di sisi lain, megengan merupakan salah satu kearifan lokal yang harus terus
dilestarikan. Indonesia kaya akan budayanya yang sangat kental terutama di
pulau Jawa dan para penganut islam kejawen. Saya poernah membaca bahwa tradisi membuat
apem seperti ini di Jawa Timur diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Islam di Jawa memiliki banyak
tradisi yang sampai saat ini terus dipertahankan. Meski di perkotaan mulai
ditinggalkan, namun di desa-desa masih terus mempertahankan karena kentalnya
tradisi yang masih dipegang teguh.
Dosen di kampus saya juga pernah
berkata “zaman sekarang, satu persatu bahasa daerah dan tradisi local mulai
hilang. Karena apa? Karena anak muda enggan belajar tradisi dan budaya. Oleh karena
ituy, harus ada yang terus melanjutkan, kalau bukan kita yang melestarikan
tradisi local, lantas siapa lagi?”
Jadi, sebagai generasi muda,
jangan lantas meninggalkan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Ada
yang masih menjalankan tradisi yang sama seperti saya?
Post a Comment
Post a Comment