Bulan Agustus lalu, aku berkesempatan main-main sebentar ke
Blitar. Kebetulan ada teman lama yang tinggal di sana. Daripada penat melihat
asap knalpot dan macet di Surabaya yang semakin menggila. Ini sih bukan pertama kalinya naik kereta
sendirian, biasanya aku sering bolak-balik Kediri – Surabaya naik kereta
sendiri, tapi kalau sampai Blitar ini pengalaman pertamaku.
Kereta Surabaya
Blitar
Shubuh di Stasiun Wonokromo yang ternyata sudah dipenuhi para penunggu kereta |
Perjalanan menuju Blitar dapat ditempuh menggunakan kereta
ekonomi lokal Doho Penataran dengan harga 15.000. cukup murah untuk kereta
lokal dengan jarak tempuh yang lumayan panjang. Kereta Dhoho Penataran ini
terbagi menjadi 2 jalur yaitu Surabaya-Blitar dengan jalur lewat Kediri
dan Dhoho Penataran lewat Jalur Malang.
Ada baiknya tanyakan dulu ingin ke Blitar lewat jalur mana.
Sesampainya di Blitar pukul 10.20 aku dijemput teman lamaku,
Mas Pandu yang kebetulan menetap di Blitar. Pertemuan sekian lama sejak kenal 11 tahun silam.
“Mas aku luwe. Maem sek ya” (mas aku laper, makan dulu ya)
bunyi WA ku ke Mas Pandu beberapa saat sebelum kereta tiba di stasiun. Walaupun
sebelum berangkat perut sudah keisi sama sepiring nasi dan segelas milo,
ternyata perjalanan 5 jam dan terpapar AC kereta cukup membuatku kelaparan
lagi.
Mas Pandu yang sudah menunggu di depan stasiun segera
mengajakku menuju sebuah warung soto yang katanya legendaris di Blitar.
Soto Daging Bok Ireng
Dikenal dengan nama Soto Daging Bok Ireng, terletak di
perempatan jalan Kelud, Kepanjen kidul, kota Blitar. Letaknya tak jauh dari
Alun-alun Blitar. Pagi setengah siang itu, warungnya belum Nampak ramai. Aku
dan Mas Pandu segera mengambil posisi duduk di dalam. Tempatnya menurutku
lumayan panas dihari yang mulai panas.
Tak lama segera tersaji dua mangkuk kecil soto daging di
depanku. Mangkuknya bukan seukuran mangkuk Soto atau Bakso gambar ayam seperti
umumnya, tapi mangkuk kecil. Mengingatkanku pada porsi Soto Ayam Kampung di
perjalanan Kediri-Tulungagung yang pernah kucicipi.
Yang membedakan soto ini dengan soto-soto yang lain adalah
proses pemasakannya yang masih menggunakan tungku dengan tanah liat, sehingga
sesekali terasa ada bau-bau gosong khas tanah liat yang menempel di lidah.
Harga seporsi soto dibanderol dengan harga 10.000 rupiah. Harganya
sama dengan semangkuk besar soto ayam di Surabaya. Meski porsinya dalam porsi
kecil, cukup membuatku kenyang setelah kelaparan di perjalanan, namun tidak
untuk Mas Pandu yang nambah setengah porsi.
Pantai Pasur: Pantai
Pribadi di Blitar Selatan
Pantai pertama yang aku datangi
sesampainya di Blitar adalah Pantai Pasur yang terletak di di Blitar selatan.
Meski datang di Hari Minggu, namun di Pantai ini tidak terlihat aktivitas
pengunjung. Hari lumayan siang ketika aku dan Mas Pandu sampai di sana. Lumayan
panas juga karena di pantai ini pepohonan belum terlalu tinggi. Tapi untuk yang ingin menikmati dan berfoto
pantai ini sangat eksotis.
Jarak antara tempat berteduh
lumayan jauh dan tinggi. Hal ini dikarenakan beberapa waktu yang lalu pantai
ini ikut terkena dampak gelombang tinggi.sehingga pasir-pasir ikut terseret dan
beberapa pohon cemara ikut tumbang.
Kalau niat backpakeran ke pantai
Pasur mending diurungkan saja. Karena nggak ada akses angkutan sama sekali.
Sinyal HP pun tidak ada sama sekali. Bener-bener pelosok deh. Perjalanan dari
Blitar Kota ke pantai ini memakan waktu 1 jam itupun dengan kecepatan yang
lumayan ngebut. Sepanjang perjalanan menuju lokasi kita disuguhkan pemandangan
pohon kelapa di sekitar,beberapa bagian menuju lokasi jalan yang menanjak dan rusak,
namun menurut Mas Pandu jalan tersebut masih belum seberapa parah daripada akses menuju beberapa pantai lainnya.
Untuk HTM sendiri kiranya masih
belum ada, hanya membayar parkir saja di warung yang paling dekat dengan pantai
Pasur ini.
Tidak ada pengunjung sama sekali saat kami tiba di
sana. Aku turun menikmati keindahan pantai meski lumayan panas, tapi begitu
melihat terpaan buih putih mencapai bibir pantai membuatku lupa sejenak akan
panas matahari yang menyengat. Oiya,
karena ombak di pantai ini cukup besar, kita jadi tidak bisa menikmati sambil
bermain air seperti di pantai – pantai pada umumnya. Dampak deburannya cukup
membuat badan lengket walaupun jaraknya lumayan jauh.
Pantai ini belum sepenuhnya dibuka
sebagai tempat destinasi wisata, selain karena ombak pantainya tidak
memungkinkan bahkan berbahaya untuk pengunjung, masih banyak hal juga yang
harus dikerjakan seperti belum adanya toilet/tempat ganti, parkiran yang
memadai, petunjuk di sekitar, tempat berteduh yang mumpuni, bahkan pepohonan - pepohonan
juga belum seberapa tinggi. Karena menurut informasi yang kuperoleh, pepohonan
di pantai ini baru sekitar satu tahunan ditanam oleh sekelompok pemuda pelopor
di sekitar Blitar
Surga dunia Yang tersembunyi
Masih dalam bentang yang sama
dengan pantai Pasur, sekitar 1 km ke sisi barat ada aliran sungai dengan
lanskap pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Pemandangan yang sangat
menakjubkan. Sayang disini juga belum banyak pepohonan dan tempat berteduh
sehingga panas cukup menyengat. Di aliran sungai yang membentang entah kemana
ini, kita bisa bermain air. Mengambil foto dengan latar yang sangat indah, tapi
mending jangan siang hari karena susah ngatur cahayanya.
Di sekitar juga nampak beberapa
nelayan yang beraktivitas. Sedangkan di area tengah masih terlihat lapang
dengan hamparan pasir hitamnya. Katanya di area tersebut merupakan bekas
tambang pasir hitam . Area ini terlihat cukup gersang, mungkin karena kesininya
di musim kemarau.
Kiranya beberapa tahun lagi tempat
ini bisa jadi salah satu tempat wisata yang potensial. Wisata di daerah, meski
akses lokasinya sulit dilalui namun ada kepuasan tersendiri saat menikmatinya.
photo: jepretan Panduaji & dok. Pribadi
Post a Comment
Post a Comment