Kelam
membungkus raut wajah seorang wanita di sudut taman kota. Hiruk pikuk terabai
olehnya. Kembali ia pandangi sebuah foto di hadapannya. Foto ia sedang dipeluk
seseorang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam ingatannya. Sekelebat kenangan
memaksanya membuka luka lama. Luka sekaligus kesalahan yang menyesakkan. Ia
kembali memandangi foto di depannya , sambil sesekali mengusap lembut perutnya
yang kini tengah membuncit. Ah… tiba-tiba
aku merindukannya
****
Sunyi,
saat pertama kali aku bertemu dia. Saat itu, delapan tahun yang lalu, aku baru
saja melepas masa SMAku. Aku bertemu dia ketika pendaftaran mahasiswa baru di
perguruan tinggi. Sosoknya tampan, potongan rambut cepak, dengan kaus panjang
berwarna merah. Dia menjadi salah satu panitia penerimaan mahasiswa baru.
“Laki-laki
ini tampan sekali,” pikirku.
Kali
kedua diriku bertemu lelaki tampan itu saat OSPEK (Orientasi Studi dan
Pengenalan Kampus), ia terlihat semakin tampan dengan jas almamater yang
dikenakannya. Aku kaget, ternyata dia berjenis kelamin perempuan, sama
sepertiku. Aku mengetahuinya saat mendapat tugas mencari seorang senior bernama
Rina.
Rina,
lebih suka dipanggil Rino, mahasiswi semester 4 satu jurusan denganku. Dia
memang tomboy, penampilan laki-lakinya sudah dikenal banyak mahasiswa satu
kampus. Tak jarang pula banyak yang mengira dia lelaki, tak sedikit juga
perempuan yang menyukainya. Daya tariknya sungguh luar biasa, dia cukup ramah
dan disegani banyak kalangan.
Perkenalanku dengan Rino tak
berhenti sampai saat OSPEK saja, ternyata Rino mengikuti beberapa kelas mata kuliah yang sama denganku
. Ketika dosen memberikan tugas kelompok, Rino dengan santai meminta aku
sekelompok dengannya. Seperti biasa, dengan senyum dan suaranya yang khas.
Semakin lama, kami semakin dekat.
Ada yang aneh dengan diriku, aku seolah menikmati kebersamaanku dengan Rino.
Dan dia semakin memberikan perhatian lebih kepadaku, melebihi adiknya sendiri.
Rasa yang tak biasa, muncul perlahan
dalam degup. Memaksa ‘tuk mengikutinya. Membuat aku dan Rino tersesat dalam
arus ketidakwajaran. Cinta yang salah antara kami. Aku dan Rino. Meski akhirnya
kami berpacaran, aku tahu itu salah, karena kami sesama perempuan. Tapi,
bersama Rino, aku menemukan kenyamanan yang berbeda. Kenyamanan yang tak
kutemukan bersama dengan laki – laki yang pernah kupacari sebelumnya.
Cinta terlarang itu, berjalan selama
hampir 7 bulan. Hingga suatu saat aku mendapati Rino mencium seorang gadis di
kelasnya. Saat itu, aku tak sengaja melewati kelas kuliah terakhirnya. Segudang
rasa berkecamuk dalam dadaku, entah sakit, marah atau benci . Tanganku tak
tertahankan ‘tuk menampar mukanya hingga membekas merah di pipi putihnya. Kami
pun bertengkar hebat di depan umum, hingga mahasiswa yang ada di sekitar dapat menebak bahwa diantara kami telah
terjalin hubungan terlarang.
Setelah kejadian tersebut, aku
memutuskan berhenti kuliah dan pindah jurusan tanpa memberi kabar apapun pada
Rino. Aku mencoba melupakannya dan mencoba menjalin hubungan dengan beberapa
lelaki hingga akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Aku tak pernah
menghubunginya lagi, meski terkadang aku merindukannya.
****
Wanita itu menelusur kembali
ingatannya, mengapa ia kembali mengingat sosok manis itu? Sosok yang sudah dia
lupakan sejak tujuh tahun lalu. Sosok yang membuatnya belajar banyak hal, sosok
yang berani menamparnya di depan umum. Akan tetapi, masih ada sepenggal cinta
dan cerita yang tersisa antara dia dan sosok manis itu, meski kini dia telah
memiliki pendamping hidup. Apa kabarmu Mila?Rinduku
padamu menyiratkan luka.
Suatu
siang yang biasa tanpa ada satu pertanda, mereka bertemu kembali di sebuah
pertokoan sebuah mall. Entah ketidaksengajaan atau sudah digariskan oleh Yang
Maha Esa. Mereka saling terhenyak, mematung satu sama lain. Dia dengan perutnya
yang buncit, dan seseorang di depannya yang sedang menggendong bayi. Luka lama
kembali hadir diantara benak mereka berdua.
***
Pertemuan
yang tak sengaja, memaksaku kembali mengingatnya. Kami memutuskan untuk
berbincang di Food Court yang ada di
mall tempat kami bertemu. Duduk saling berhadapan dan saling terdiam. Sampai
akhirnya Rino memulai pembicaraan.
“Apa
kabar?” tanya Rino. Ada kerinduan terbaca dari lingkar matanya. Sosoknya masih
sama seperti tujuh tahun lalu, saat terakhir kali aku menamparnya. Dia masih
sama. Tampan, sekaligus cantik
“Aku
baik-baik saja. Selamat ya sebentar lagi kamu jadi ibu,” ucapku.
Aku
tak tahu, ucapan selamat ini tulus atau tidak. Meski kini aku telah memiliki
seorang anak, setidaknya masih ada rasa yang tertinggal untuknya. Rasa yang
tercipta karena kebiasaan dulu. Namun, kesalahan terbesar bila aku terus mengingatnya.
Dan aku harus meyakinkan diri, Dulu aku memang
mencintainya, tapi aku sadar cinta itu terlarang dan harus kutepis semua rasa
cinta ku padanya.
“Selamat
juga, kini kamu telah mempunyai putri,” balas Rino “ Mila… entah kenapa
akhir-akhir ini aku selalu memimpikanmu. Aku rindu padamu Mil, sampai sekarang
aku terus mengingatmu. Aku masih menyayangimu,” lanjutnya sambil berusaha
meraih tanganku yang kuletakkan diatas meja.
“Rin,
pendamal saja cerita tentang kita dahulu. Kita punya jalan kehidupan
masing-masing. Dan kita tak akan pernah mungkin bersama. Cinta kita dahulu,
adalah sebuah kesalahan. Soal kerinduanmu padaku, anggap saja kamu merindukanku
dan menyayangiku sebagai adikmu,“ jelasku
perlahan.
Perkataanku
sungguh klise. Tak tulus dari hati nuraniku. Ada sakit yang jelas terasa di
dada. Namun aku harus tetap berkata hal tersebut. Kami memang telah memiliki
jalan masing-masing. Dan cinta terlarang kami ini harus terkubur dalam sebuah
peti di lubuk hati. Terkunci rapat bersama kenangan-kenangan lalu, kemudian
akan tertumpuk kenangan baru yang tercipta bersama anak dan suamiku.
****
Mila
meninggalkan Rino yang masih tertunduk.
“Maafkan
ibu, Nak,” Ucap Rino lirih sembari membelai perutnya.
***
SELESAI
*cerpen ini pernah dimuat dalam antologi cerpen "Dalam Balutan Pelangi" penerbit AGP
Post a Comment
Post a Comment